RIAUPEDIA.COM - Rencana Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) untuk menarik pinjaman daerah sebesar Rp200 miliar kembali menjadi sorotan publik. Pinjaman ini disebut-sebut akan membiayai beragam proyek pembangunan daerah, mulai dari Islamic Center, rekonstruksi jalan strategis, hingga pengadaan meubeler sekolah. Puncaknya, rencana tersebut dipresentasikan dalam konferensi pers Ketua dan anggota DPRD Inhil pada 2 Desember 2025.
Namun, dari perspektif ketatanegaraan, persoalan yang paling fundamental bukan terletak pada daftar proyek, melainkan apakah DPRD telah menjalankan fungsi konstitusionalnya secara penuh sebelum memberikan persetujuan terhadap kebijakan yang akan membebani APBD beberapa tahun ke depan melalui cicilan pokok dan bunga.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Keuangan Negara, dan Hubungan Keuangan Pusat–Daerah memberikan ruang yang kuat kepada DPRD untuk memastikan bahwa setiap pinjaman daerah bersifat legal, layak, proporsional, serta memberikan manfaat publik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik, DPRD tidak selayaknya memberikan persetujuan sebelum seluruh prasyarat kebijakan dipenuhi. Penyampaian sekadar daftar proyek—mulai dari pembangunan Islamic Center, rehabilitasi pasar terapung, rekonstruksi jalan Kotabaru Sanglar, pembangunan jembatan Sungai Junjangan hingga pengadaan meubeler sekolah—belum dapat dijadikan dasar untuk menyetujui pinjaman.
Secara prinsip, DPRD harus memastikan bahwa setiap proyek yang dibiayai pinjaman memiliki:
1. Kajian kelayakan (feasibility study)
2. Analisis manfaat dan biaya (cost-benefit analysis)
3. Dokumen desain teknis (DED)
4. Argumentasi urgensi yang konsisten dengan RPJMD
Proyek-proyek yang sifatnya rutin, seperti pengadaan meubeler sekolah atau perbaikan kantor, perlu diuji ulang apakah layak dibiayai melalui pinjaman yang cicilannya akan menggerus ruang fiskal layanan publik di tahun-tahun mendatang.
Sebelum persetujuan diberikan, DPRD memiliki kewajiban konstitusional untuk meminta dan memeriksa analisis kemampuan bayar daerah, termasuk:
1. Nilai Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
2. Proyeksi keuangan jangka menengah
3. Simulasi beban cicilan pokok dan bunga per tahun
Tanpa kajian risiko fiskal yang komprehensif, keputusan untuk menyetujui pinjaman bisa melampaui prinsip kehati-hatian pengelolaan keuangan negara, dan bahkan berpotensi membebani fungsi pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, serta infrastruktur dasar.
DPRD juga memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan transparansi. Dokumen pinjaman, syarat kredit dari lembaga pemberi pinjaman, serta argumentasi kebijakan harus dibuka ke publik.
Selain itu, pelibatan warga, akademisi, organisasi masyarakat, dan kelompok profesi dalam proses uji publik merupakan bagian dari fungsi representasi DPRD sebagai wakil rakyat. Pinjaman daerah bukan semata persoalan administratif—melainkan keputusan publik yang berdampak lintas generasi.
Sebelum memberikan persetujuan, DPRD seharusnya memastikan kelengkapan seluruh dokumen proyek, memverifikasi kemampuan dan kesiapan fiskal daerah, menilai kesesuaian proyek dengan rencana pembangunan daerah, membuka ruang partisipasi publik, dan uji manfaat proyek serta Melakukan review objektif terhadap urgensi dan dampak jangka panjang.
Jika prasyarat ini belum dipenuhi, DPRD justru berkewajiban menunda, bukan mempercepat persetujuan pinjaman. Penundaan bukan berarti menghambat pembangunan, melainkan bentuk tanggung jawab konstitusional untuk menjaga keseimbangan kekuasaan serta melindungi kepentingan publik.
Pembangunan Tidak Boleh Berdiri di Atas Proses yang Cacat
Pinjaman Rp200 miliar bisa menjadi pendorong pembangunan—tetapi hanya jika diputuskan melalui proses yang transparan, akuntabel, dan rasional. Pada akhirnya, cicilan pinjaman ini akan dibayar melalui uang publik dan akan membebani APBD tahun-tahun berikutnya.
Karena itu, DPRD harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam kembali dalam bentuk manfaat nyata untuk masyarakat, bukan sekadar daftar proyek yang dikebut tanpa fondasi perencanaan yang matang.
Jika DPRD mampu menegakkan standar itu, maka mekanisme check and balance daerah akan berjalan sebagaimana mestinya:
menjaga keuangan publik, memastikan akuntabilitas, dan memastikan pembangunan berjalan dalam koridor konstitusi.
Penulis: Jamri, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi