RIAUPEDIA.COM, INHIL - Di ruang sidang Pengadilan Negeri Tembilahan, Selasa (10/12), suasana mendadak terasa berat. Sidang keempat perkara 295/Pid.B/2025/PN Tbh dibuka, namun perhatian banyak mata tertuju pada satu sosok: seorang lelaki tua yang selama hidupnya dihormati sebagai Ninik Mamak Melayu Kemuning—Datuk Bahar Kamil.
Berusia lebih dari tujuh dekade, langkahnya kian gemetar, nafasnya terengah, tetapi ia tetap dibawa masuk sebagai tahanan. Sejak 12 November 2025, Datuk Bahar harus menjalani hari-hari dalam Lapas Tembilahan, meski kondisi kesehatannya jauh dari kata layak untuk seorang yang menua.
Ia didakwa bersama anaknya, Sudirman Kamil, atas tuduhan pencurian di tanah ulayat yang justru selama bertahun-tahun ia perjuangkan dari penguasaan para cukong tanah. Ironi itu menggantung seperti awan gelap di atas kepalanya.
Melihat kondisi tersebut, dua pimpinan tertinggi Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR)—Datuk Seri H. Raja Marjohan Yusuf dan Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil—segera mengutus PBH LAMR untuk turun tangan. Mereka menilai, persoalan ini bukan hanya perkara pidana, tetapi juga soal martabat, sejarah, dan harga diri komunitas adat.
Penasihat hukum PBH LAMR, Advokat Puan Devia Fitriana Fardika, S.H., M.H., menuturkan bahwa pihaknya sudah sejak lama mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Kejari Inhil dan Kejati Riau.
Namun hingga kini, permohonan itu seperti hilang dalam ruang sunyi birokrasi.
"Kami meminta bukan untuk membebaskan, tetapi untuk memberi ruang manusiawi bagi seorang lansia yang sakit," ucapnya lirih.
Ketua PBH LAMR, Datuk Zainul Akmal, S.H., M.H., menyusul dengan permohonan lain: pengalihan penahanan menjadi Tahanan Kota kepada Majelis Hakim dan Ketua PN Tembilahan.
Ia menyebut empat alasan, semuanya sangat manusiawi:
1. kondisi fisik terdakwa yang terus melemah;
2. Adanya jaminan kuat dari keluarga;
3. Tidak ada risiko pelarian
4. Hak terdakwa atas kesehatan serta asas praduga tak bersalah.
"Ini bukan permintaan yang berlebihan," kata Datuk Zainul. "Ini hanya memohon agar seorang ayah, seorang tetua adat, menjalani proses hukum tanpa kehilangan martabatnya."
Lebih menyayat lagi, salah satu terdakwa lain, Suhadi Afandi alias Pak Hadi, telah terlebih dahulu mendapatkan status Tahanan Kota karena alasan sakit dan usia lanjut. Hal ini membuat keluarga dan masyarakat adat bertanya-tanya—mengapa Datuk Bahar tidak mendapatkan kesempatan yang sama?
Di tengah ruangan sidang, setiap kali Datuk Bahar batuk kecil atau mengusap dadanya, sebagian hadirin menunduk. Mereka tahu, lelaki tua itu tidak sedang melawan hukum—ia sedang melawan waktu dan tubuhnya sendiri.
Kini, mata masyarakat adat Kemuning, keluarga besar, dan pegiat hukum adat tertuju pada satu pihak: Majelis Hakim.
Akankah mereka membuka ruang bagi kemanusiaan?
Atau membiarkan seorang sepuh adat terus merasakan dinginnya dinding penjara?
"Keadilan bukan hanya soal pasal," ujar seorang warga yang hadir. "Ia juga soal hati."
Datuk Bahar, dengan tubuh renta dan suara yang mulai melemah, hanya berharap satu: ia ingin menjalani sidang dengan tetap bisa bernafas lega, di rumah, di lingkungan yang ia kenal, bersama keluarganya.
Sampai hari itu datang, ia hanya bisa menunggu—di balik jeruji, dalam sunyi, dengan harapan yang semakin tipis namun belum mati.